Pengertian Riba, Jenis-Jenis Riba dan Contoh Transaksi-Transaksi Ribawi

Apa itu riba? Secara bahasa, Riba adalah ziyadah atau tambahan. Dalam Lisanul ‘Arab dikatakan: rabaa asy-syai-u, yarbuu rubuwwan wa ribaa-an, artinya bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa).[1] Adapun secara syar’i, definisi riba cukup rumit, karena ia meliputi beberapa transaksi terlarang, sulit disatukan dalam sebuah ungkapan tunggal yang ringkas dan meliputi. Konsekuensinya, definisi yang dapat meliputi semua jenis riba mungkin akan terasa sangat panjang. Untuk menghindari kerumitan itu, kita akan langsung merinci perkara-perkara apa saja yang disebut sebagai transaksi ribawi. Jika fakta tentang jenis-jenis riba atau macam-macam riba dalam sudah kita pahami, maka masalah definisi hanya akan menjadi persoalan redaksi saja.

Skema jenis-jenis riba dan contohnya

Riba dalam jual-beli dan riba dalam utang-piutang

Ibnu Rusyd, dalam Bidayatul Mujtahid, menyatakan, “para ulama bersepakat bahwa riba terjadi dalam dua hal: dalam jual-beli dan dalam perkara yang menjadi tanggungan (utang), baik utang karena jual-beli, salaf atau yang lainnya”.[2] Dengan kata lain, riba dapat terjadi dalam: pertama, utang-piutang atau muamalah yang melahirkan kewajiban yang harus dibayarkan oleh satu pihak kepada pihak yang lain pada masa yang akan datang; kedua, tukar-menukar barang atau jual beli.[3] Yang disebut pertama dinamakan riba duyun (riba utang-piutang), sedangkan yang kedua dinamakan riba buyu’ (riba jual-beli).[4] Duyun merupakan bentuk plural dari kata dain yang berarti utang. Adapun buyu’ merupakan bentuk plural dari kata bai’ yang berarti jual-beli.

Riba dalam jual-beli

Jual-beli (bai’) adalah pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk saling menyerahterimakan kepemilikannya (tamliikan wa tamallukan).[5] Berdasarkan pengertian ini, maka barter tergolong jual-beli. Riba dalam jual-beli terbagi menjadi dua, yaitu: riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang terjadi karena adanya tambahan dalam pertukaran antar barang yang seharusnya ditukarkan secara semisal (tamatsul), dengan kata lain, terjadi karena adanya perbedaan kuantitas dalam pertukaran komoditi tertentu (komoditi ribawi) yang sesama jenis.[6]. Riba nasi’ah dalam jual beli adalah pertukaran yang tidak tunai (nasii-atan) di antara komoditi tertentu (komoditi ribawi) yang seharusnya dipertukarkan secara tunai (yadan bi yadin/taqabudl).[7] Kami sebut “komoditi tertentu” karena keharusan adanya kesetaraan kuantitas dan ketentuan tunai ini tidak berlaku pada pertukaran sembarang komoditi, melainkan hanya berlaku sebagian komoditas saja. Rincian hukum dari kedua jenis riba jual-beli ini tidak muncul dari al-Qur’an, melainkan dari as-Sunnah, yaitu sabda Rasulullah saw.:

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (tunai). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Dari hadits di atas dapat ditarik beberapa hukum:
Pertama, pertukaran sejenis dari keenam barang di atas, seperti emas ditukar dengan emas atau gandum dengan gandum, harus memenuhi dua ketentuan, yaitu: (1) tunai dan (2) sama kuantitasnya (sama dalam timbangan atau takaran). Dalam konteks ini, transaksi yang tidak tunai memunculkan riba nasi’ah, atau para ulama Syafi’iyah menamainya dengan sebutan riba yad.[8] Dalam konteks ini pula, jika emas dan emas ditukar secara tidak setimbang, atau gandum ditukar dengan gandum secara tidak setimbang, maka lahirlah riba fadhl.

Kedua, pertukaran lintas jenis/beda jenis di antara keenam barang ribawi di atas tidak diharuskan semisal atau sama kuantitasnya, artinya 1 gr emas boleh ditukar dengan 7 gr perak, namun keharusan tunai masih tetap berlaku di sini. Jika pertukaran tidak dilakukan secara tunai maka tetap terjadi riba nasi’ah atau riba yad.
Adakah ‘Illat dalam penyebutan keenam barang ribawi? Apakah hukumnya bisa ditularkan kepada selain keenam barang ribawi?
Sebagian ulama menyatakan bahwa ketentuan dalam pertukaran di atas (yakni jika sama jenis harus sama kuantitasnya dan tunai ; serta jika berbeda jenis cukup diharuskan tunai) tidak hanya berlaku pada pertukaran keenam barang yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut mereka, ketentuan itu dapat menular pada pertukaran barang-barang lain karena terdapat ‘illat (alasan yang membangkitkan hukum) di dalam penyebutan keenam barang itu. Konsekuensinya: ketentuan di atas bisa berlaku pada barang-barang yang memiliki kesamaan ‘illat. Namun kemudian, mereka berbeda pendapat tentang apa yang menjadi íllat-nya.

Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa ‘illat yang menjadi alasan pemberlakuan hukum pada keempat barang yang pertama adalah karena keempatnya merupakan bahan makanan yang bisa disimpan, maka ketentuan di atas berlaku pada pertukaran semua bahan makanan yang dapat disimpan. Sedangkan ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa ‘illatnya adalah karena empat barang yang pertama merupakan bahan makanan, sehingga ketentuan tersebut berlaku untuk semua bahan makanan. Mengenai emas dan perak, Malikiyah dan Syafi’iyyah sepakat bahwa ‘illatnya adalah karena keduanya merupakan barang yang menjadi pengukur harga dan nilai (uang). Sementara itu, para ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa keenam itu memiliki satu illat yang sama, yakni karena keenamnya dijual-belikan dengan ditakar atau ditimbang, sehingga ketentuan di atas berlaku untuk semua barang yang dijual-belikan dengan ukuran takaran (volum) atau timbangan (berat).[9]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas hanya menyebutkan enam komoditi, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam dengan tanpa menyebutkan alasan apapun. Keenam barang inilah yang kemudian dinamai barang-barang riba atau komoditi ribawi (al-ashnaf / al-amwal ar-ribawiyyah).[10] Menurut pendapat yang kami pandang kuat, tidak dapat ditemukan adanya alasan (’illat) atas hukum yang dikenakan pada keenam barang yang disebutkan itu, karena semua disebutkan dalam bentuk ism jamid tanpa mengandung pengertian sifat yang dapat dipahami sebagai penyebab/pembangkit hukum (‘illat / al-baits ‘alat tasyri’).[11] Sebagai konsekuensinya, ketentuan hukum dalam hadits di atas hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja. Hukum tersebut tidak dapat dianalogkan atau ditularkan kepada komoditi yang lain, seperti semua makanan atau semua barang yang ditimbang atau ditakar.[12] Atas dasar itu, keharusan tunai dan sama kuantitasnya tidak berlaku dalam pertukaran barang lain, seperti madu jenis A ditukar dengan madu jenis B, atau madu ditukar dengan gandum, karena madu tidak termasuk dalam keenam barang ribawi. Pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Hazm, beliau mengatakan, “Maka tidak ada riba selain dalam benda-benda yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diperintahkan untuk memberikan penjelasan, dan selain barang-barang tersebut maka halal.”[13]
Pembagian Barang Ribawi menjadi dua kelompok fungsional: sebuah tanggapan
Sebagian ulama melakukan pembagian keenam barang di atas menjadi dua kelompok fungsional, yakni: (1) kelompok alat tukar, yang terdiri dari emas dan perak: dan (2) kelompok bahan makanan, terdiri dari empat barang yang tersisa. Pengelompokan ini, menurut mereka, membawa implikasi hukum yang penting, bahwa keharusan tunai dan semisal tidak berlaku pada pertukaran barang lintas kelompok, sehingga pertukaran kurma dengan emas tidak diharuskan semisal juga tidak diharuskan tunai.[14] Namun menurut pendapat yang kami pandang kuat, pembagian dengan implikasi hukum yang cukup signifikan ini tidak didasarkan pada alasan yang kuat, karena nash hadits sama sekali tidak menyiratkan adanya pengelompokan dengan implikasi hukum semacam itu. Adapun mengenai hadits Nabi yang membolehkan pembelian kurma menggunakan dinar (emas) melalui transaksi pemesanan (salam), maka ini hanya merupakan suatu bentuk pengecualian (takhshish) dari ketentuan umum, bahwa dalam pembelian barang ribawi (seperti kurma) dengan menggunakan barang ribawi (seperti dinar), penyerahan barang yang dibeli boleh tidak langsung asalkan melalui transaksi salam (pemesanan) yang sah, yang di antara ketentuannya adalah bahwa harga (ra’sul mal) harus diserahkan tunai pada saat transaksi, sedangkan barang yang dipesan akan diserahkan belakangan pada waktu yang disepakati. Ya, ini hanyalah pengecualian saja.[15] Wallahu a’lam

Riba Utang-piutang

Utang bisa kita pilah menjadi dua kelompok, yakni: (1) utang yang muncul karena pinjam-meminjam (qardl); dan (2) utang yang tidak lahir dari pinjam-meminjam, seperti lahir dari jual-beli kredit atau tunggakan sewa. Pinjam-meminjam (qardl) yang dimaksud di sini bukan peminjaman barang untuk digunakan manfaatnya semata, seperti meminjam sepeda untuk dipakai lalu dikembalikan. Qardl adalah meminjam sesuatu untuk dihabiskan sehingga si pemimjam harus menyerahkan penggantinya kepada pemberi pinjaman berupa barang serupa dalam tempo tertentu. Misalnya si fulan meminjam 1 kg beras kepada tetangganya untuk dikonsumsi dengan ketentuan harus diganti dalam tempo satu pekan, maka ini adalah qardl; atau seseorang meminjam uang kepada temannya untuk dijadikan modal usaha dan akan dikembalikan setelah waktu tertentu. Adapun utang (dain) yang bukan lahir dari qardl contohnya adalah utang yang muncul karena jual-beli kredit atau biaya sewa yang belum dilunasi (tunggakan). Dari sini dapat dikatakan bahwa utang (dain) lebih umum dari pada pinjaman (qardl), sebab setiap pinjaman adalah utang, tapi tidak setiap utang adalah pinjaman. Diri sini muncul apa yang dinamakan riba qardl dan riba dain secara umum. Sebagian ulama masa kini ada yang menyatakan bahwa semua riba utang-piutang dinamakan riba jahiliyyah, [16] sedang Ibnu Qayyim menyebutnya riba jalliy (jelas).

Riba Qardl. Yang dimaksud dengan qardl adalah transaksi pinjam-meminjam harta, yaitu salah pihak pertama menyerahkan hartanya secara sukarela kepada pihak kedua untuk digunakan, dan pihak kedua harus menyerahkan pengganti yang serupa pada masa yang akan datang. Riba dalam pinjam-meminjam (qardl) terjadi ketika terdapat barang maupun jasa yang ditambahkan pada pengembalian utang sebagai kompensasi dari waktu/tempo.[17] Riba qardl bisa terjadi dalam dua bentuk: pertama, terjadi karena adanya kesepakatan dari awal bahwa si peminjam harus mengembalikan pinjamannya lebih banyak dari apa yang dia pinjam, contohnya: si A meminjam Rp. 1.000.000 kepada si B dan dua bulan berikutnya harus dikembalikan dengan tambahan bunga sebesar Rp. 200.000[18]; kedua, tidak ada kesepakatan tambahan sejak awal, namun tambahan hanya dikenakan sebagai sanksi (punishment) akibat keterlambatan pembayaran, sebagai contoh: si A meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000 kepada si B selama dua bulan, namun pada saat jatuh tempo si A tidak mampu melunasinya, karena itu si B mengatakan, “Aku beri tempo satu bulan lagi dengan tambahan Rp. 200.000,” maka ini merupakan riba.

Riba dain (utang-piutang) yang tidak lahir dari qardl. Terkait dengan utang yang tidak lahir dari qardl, maka ia bisa terjadi dalam jual-beli tak tunai atau transaksi lain yang menimbulkan adanya tanggungan. Contohnya seperti seseorang yang membeli laptop secara kredit seharga Rp. 3.000.000 dengan cicilan per bulan sebesar Rp. 300.000. Pembeli wajib menyerahkan cicilan setiap tanggal 10. Jika sampai tanggal tersebut pembeli tidak mampu menyetorkan angsuran, maka akan dikenakan tambahan. Pada saat itulah terjadi transaksi ribawi. Contoh lain seperti seseorang yang menyewa sebuah rumah dengan biaya Rp. 400.000 per bulan selama satu tahun. Jika pada bulan itu si penyewa tidak mampu membayar, maka biaya tersebut bisa dibayarkan pada bulan depan dengan ketentuan ada tambahan Rp. 50.000. Di sini juga terjadi riba. Dalam kedua kasus di atas, riba terjadi dalam utang, tapi utang tersebut bukan karena transaksi qardl, melainkan karena jual-beli dan sewa-menyewa (ijarah).

Keunikan riba qardl atas riba utang-piutang secara umum. Mungkin di antara kita ada yang bertanya, “mengapa riba yang lahir dari qardl harus dibedakan dari riba yang lahir dari utang-piutang pada umumnya?” Maka jawabnya adalah, bahwa ditinjau dari konteks riba, qardl memiliki keistimewaan: Pertama, karena riba dalam qardl bisa ditentukan kejadiannya sejak awal, bukan muncul karena keterlambatan pembayaran, yakni ketika disepakati bahwa jumlah pengembaliannya harus lebih besar dari apa yang dipinjam. Contohnya ada ketentuan bahwa peminjaman sebesar Rp. 100.000 harus dikembalikan menjadi Rp. 120.000. Kasus seperti ini tidak bisa terjadi dalam utang yang lahir karena jual-beli kredit atau pun yang lain, karena riba dalam jual-beli kredit hanya mungkin terjadi ketika ditetapkan adanya tambahan sebagai bentuk hukuman (punishment) tatkala utang tidak dapat dibayarkan atau dicicil pada waktu yang ditentukan.[19] Kedua, keistimewaan lain yang ada dalam qardl adalah bahwa hubungan pinjam-meminjam (qardl) itu tidak boleh melahirkan pemberian manfaat apapun dari pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman, sebab segala manfaat yang dilahirkan dari qardl dianggap sebagai riba, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “setiap qardl yang menarik manfaat maka ia merupakan salah satu bentuk riba.”[20] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa hadiah atau tumpangan yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman adalah riba yang tidak halal, kecuali jika tradisi saling memberi hadiah dan bantuan itu sudah menjadi kebiasaan yang berlangsung di antara keduanya sebelum terjadinya hubungan pinjam-meminjam. Keharaman pemberian manfaat semacam itu tidak berlaku di luar utang yang lahir karena qardl, seperti jual-beli kredit atau sewa.[21]

Riba utang-piutang bisa terkait pada segala macam barang.  

Para ulama sepakat bahwa riba utang dapat terkait pada segala macam barang yang diutang, tidak terbatas pada barang-barang tertentu saja. Hal ini perlu ditekankan agar tidak terjadi kerancuan antara riba jual-beli (buyu’) dengan riba duyun (utang-piutang). Riba jual-beli memang hanya terjadi pada keeenam barang ribawi yang disebut dalam hadits Nabi. Sementara dalam pinjam-meminjam (qardl), riba bisa terjadi dalam peminjaman barang apa saja.[22] Peminjaman uang, beras, buah-buahan, minyak, atau apa pun, jika disyaratkan adanya tambahan dari awal atau tambahan akibat keterlambatan, maka terjadilah riba. Terkait dengan utang yang lahir dari jual-beli kredit, riba juga dapat terjadi pada jual-beli komoditas apa pun. Utang akibat pembelian beras, pembelian mobil, pembelian pakaian atau pembelian barang apa pun yang tidak dibayar secara tunai, jika dikenakan tambahan akibat keterlambatan pembayaran, maka tambahan tersebut merupakan riba.

Tambahan utang adalah riba yang haram, baik besar maupun kecil

Tambahan atas utang adalah haram, baik tambahan itu sedikit maupun banyak. Ini ditunjukkan oleh al-Baqarah ayat 279, yang menyatakan bahwa hak pemberi utang hanyalah mengambil pokok hartanya saja. Pemahaman terbalik yang dapat diambil (mafhum mukhalafah): selain harta pokok merupakan riba yang tidak boleh diambil, lepas dari perkara apakah ia sedikit maupun banyak.

Adapun mengenai surat Ali ‘Imran ayat 130, yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba secara berlipat-lipat (adl’aafan mudlaa’afatan),” maka sebagian orang menjadikannya sebagai dalil bahwa yang dilarang dalam Islam hanyalah riba yang keji (riba fahisy), yaitu mengambil bunga utang yang sangat besar (berlipat-lipat). Mafhum khulafah­nya, riba yang kecil, menurut mereka, tidak diharamkan. Pendapat ini tertolak, karena memakan riba secara berlipat-lipat yang disebutkan di sini tidak bermaksud memberikan batasan, melainkan hanya bermaksud mencela salah satu jenis riba yang umumnya terjadi pada waktu ayat ini turun. Asy-Syaukani menyatakan, “Tidak untuk membatasi larangan, sebab telah diketahui bahwa pengharaman riba itu meliputi semuanya, bagaimana pun keadaannya. Namun, redaksi ini hanya digunakan dengan memperhitungkan kebiasaan yang dahulu mereka praktekkan dalam masalah riba…”[23]

Pada ulama ushul fiqh sudah menjelaskan bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat diambil dari lafadz yang sekedar menyebutkan sifat/jenis dari suatu perkara yang umumnya dilakukan pada masa kenabian. “Adapun jika (hal yang disebutkan) merupakan bentuk perkara yang umumnya terjadi, maka mafhumnya tidak diperhitungkan”[24], demikian dikatakan oleh Ibnu Najjar.  Abu Hayan menyatakan, “Bahwa firmanNya, “jangan kamu makan harta mereka (anak yatim) bersama hartamu” bukan merupakan batasan untuk memberikan pengkhususan. Ia hanya digunakan untuk melakukan celaan sehingga menjadi larangan bagi fakta yang berlaku. Padanannya seperti firman Allah: “(jangan memakan riba) secara berlipat ganda,” padahal riba dengan segala bentuknya adalah dilarang.”[25]

Wallahu ‘alam

[1] Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab (Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-‘Arabiy, 1999), vol. V, hal. 126.
[2] Ibnu Rasyd al-Hafid, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Kairo: Dar al-Aqidah, 2004), vol. II, hal. 153.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hal. 40.
[4] Abdul ‘Azhim Jalal, Fiqh ar-Riba Dirasah Muqaranah wa Syamilah littathbiqat al-Mu’ashirah (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 2004), hal. 54.
[5] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), vol VI, hal. 5; an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), hal. 258.
[6] ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matruk, Ar-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrifiyyah fii Nazhari asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Madinah: Dar al-‘Ashimah, 1416 H), hal. 55.
[7] Nazih Hammad, Mu’jam al-Mushthalahat al-Maliyyah wa al-Iqtishadiyyah fii Lughah al-fuqaha’ (Jedah: Dar al-Basyir, 2008), hal. 224.
[8] Ibid., hal. 225.
[9] Lihat: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
[10] Nazih Hammad, Mu’jam al-Mushthalahat al-Maliyyah wa al-Iqtishadiyyah fii Lughah al-fuqaha’ (Jedah: Dar al-Basyir, 2008), hal. 222.
[11] an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), hal. 260.
[12] Lihat diskusi tentang ‘illat dalam komoditas ribawi ini dalam: ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matruk, Ar-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrifiyyah fii Nazhari asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Madinah: Dar al-‘Ashimah, 1416 H), hal. 133 – 139.
[13] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhallaa (Amman: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah, 2003), hal. 1281.
[14] Shalah ash-Shawi dan Abudullah Mushlih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2008), hal. 352.
[15] Atha’ Abur Rasytah, at-Taisir fi Ushul at Tafsir (Beirut: dar al-Ummah, 2006), hal. 417.
[16] Anonim, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Dzat as-Salasil, Kementerian Wakaf dan Urusan keIslaman Kuwait, 1992), Vol. 22, hal. 57. Abdul ‘Azhim Jalal, Fiqh ar-Riba Dirasah Muqaranah wa Syamilah li-at-Tathbiqat al-Mu’ashirah (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 2004), hal. 54.
[17] Nazih Hammad, Mu’jam al-Mushthalahat al-Maliyyah wa al-Iqtishadiyyah fii Lughah al-fuqaha’ (Jedah: Dar al-Basyir, 2008), hal. 223.
[18] Az-Zuhaili, Mausu’ah al-fiqh al-Islami wa al-Qadlaya al-Mu’ashirah (Damaskus: Darul Fikr, 2012), vol. IV, hal. 470.
[19] Lihat: Abdul ‘Azhim Jalal, Fiqh ar-Riba Dirasah Muqaranah wa Syamilah li-at-Tathbiqat al-Mu’ashirah (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 2004), hal 48.
[20] Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra. Dianggap lemah, namun kandungannya menjadi kaidah yang disepakati oleh seluruh ulama.
[21] An-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2003) vol. II, hal. 341.
[22] An-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), hal. 259; Atha’ Abur Rasytah, at-Taisir fi Ushul at-tafsir (Beirut: Dar al-Ummah, 2006), hal. 430.
[23] Asy-Syaukani, Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fann ar-Riwayah wa ad-Dirayah fi ‘Ilm at-Tafsir (Kairo: Dar al-Hadits, 2007), vol. I, hal. 512.
[24] Ibnu Najjar, Syarh al-Kaukab al-Munir (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikan, 1993), vol. III, hal. 490.
[25] Abu Hayan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2993), vol. III, hal. 173.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian Riba, Jenis-Jenis Riba dan Contoh Transaksi-Transaksi Ribawi"

Posting Komentar