Ketika itu, saya menguraikan, bahwa peristiwa Isra’
Mi’raj memang tidak masuk di akalnya Abu Jahal. Tetapi, peristiwa
tersebut masuk di akalnya Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.. Abu Jahal bahkan
menjadikan Isra’ Mi’raj sebagai senjata untuk menarik kembali
orang-orang Quraisy dari keimanan Islam. Dan memang, sejumlah orang
akhirnya keluar dari Islam, karena menganggap cerita Isra’ Mi’raj
sebagai kebohongan dan tidak masuk akal.
Tetapi, provokasi Abu
Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak ‘mempan’ untuk membatalkan
keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika
yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad saw, pasti cerita itu benar
adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi,
Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq,
dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.
Persoalan akal
mendapatkan kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Orang dibebani
kewajiban menjalankan syariat jika dia sudah “mukallaf”, artinya, dia
sudah baligh (dewasa) dan mempunyai akal. Jika hilang akalnya, maka dia
bebas syariat. Itulah karunia Allah! Manusia bisa saja menuntut bebas
dari melaksanakan syariat Allah, asalkan mereka sudah kehilangan akal.
Memang, dengan akal-lah manusia dikatakan sebagai manusia. Laulal aqlu
la-kaanal-insaanu kal-bahaaim. Begitu sebuah ungkapan Arab yang
bermakna: tanpa akal, maka manusia ibarat binatang. Manusia menjadi
manusia, karena akalnya, bukan karena jasadnya. Lihatlah, seorang ahli
fisika Inggris Stephen Hawking! Meskipun tubuhnya sudah lemah lunglai,
terhempas di kursi roda, tanpa bisa berkata apa-apa, jalan pikirannya
tetap diperhatikan oleh dunia. Meskipun dia sekular, tetapi dia tetap
dipandang sebagai manusia. Akalnya masih ada!
Bandingkan dengan
seorang yang masih gagah perkasa atau cantik jelita, jika hilang
akalnya, maka hilang pula nilainya sebagai manusia. Karena itu, kita
melihat ada hal yang kontradiktif pada kaum sekular yang memandang
manusia hanya dari segi fisiknya saja. Tengoklah buku-buku sejarah atau
Biologi yang diajarkan kepada anak-anak kita! Tatkala membahas tentang
asal-usul manusia, mereka hanya berbicara tentang sejarah fisik atau
tubuh manusia. Yang mereka teliti hanya sejarah tulang belulang. Mereka
hanya meneliti fosil, karena hanya itu yang bisa mereka lihat.
Mereka tidak mengakui adanya RUH yang justru merupakan inti dari
manusia. Sedangkan jasad adalah “tunggangan” RUH. Saat bicara tentang
sejarah manusia, maka harusnya mereka sampai pada satu momen penting
dari sejarah manusia, yaitu tatkala manusia membuat perjanjian dengan
Allah di alam arwah. Ketika itu, Allah bertanya: “Apakah Aku ini
Tuhanmu?” maka serentak manusia menjawab: “Benar, kami menjadi saksi!”
(QS 7:172).
Itulah sebuah momen penting dari sejarah manusia.
Bukan hanya menelusuri sejarah tulang belulang. Sayangnya, kaum
sekularis dan materialis tidak mengakui informasi yang berasal dari
wahyu sebagai “Ilmu”. Bagi mereka informasi wahyu dianggap sebagai
dogma, yang tidak bisa diilmiahkan. Informasi tentang RUH, alam akhirat,
dan alam ghaib lainnya, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Karena
itulah, dalam struktur keilmuan yang banyak dipelajari di
sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi sekarang, yang dimasukkan dalam
kategori “sains” hanyalah hal-hal yang bisa diindera. Mereka tidak
mengakui adanya Sains tentang akhirat, sains tentang sorga dan neraka.
Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang
Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya,
merupakan bagian dari Ilmu! Informasi tentang kenabian Muhammad saw,
bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam
QS 3:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham
kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki.
Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu
informasi yang pasti kebenarannya.
Jadi, informasi tentang
hal-hal ghaib adalah ILMU dan masuk akal. Sebab, informasi itu dibawa
oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah
pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi
pasti pula. Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang
ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari
orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai
memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita –
maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah
atau tes DNA.
Mungkin ada mahasiswa yang berlagak kritis dan
rasional dalam segala hal. Dia mau mengkritisi semua hal. Katanya, “Saya
hanya percaya kepada hal-hal yang bisa diindera secara langsung atau
yang rasional. Di luar itu, saya tidak percaya!”
Kita jawab:
“Anda pun tidak kritis pada diri Anda sendiri. Coba tanyakan dengan cara
yang sesopan mungkin kepada kedua orang tua Anda, apa bukti ilmiah yang
empiris dan rasional bahwa Anda benar-benar anak mereka?”
Seorang mahasiswa tidak akan pernah menjadi sarjana, jika dia bersikap
kritis. Saat dosennya menyatakan, bahwa ini adalah rumus Phytagoras atau
hukum ini ciptaan Archimides, maka si mahasiswa yang mengaku kritis
tadi, harusnya bertanya kepada dosennya, bagaimana Bapak tahu, bahwa
rumus itu berasal dari Phytagoras? Bagaimana membuktikannya? Apakah
Bapak melihat sendiri? Kenapa Bapak percaya begitu saja.
Saat
seorang dosen atau guru fisika menerangkan bahwa kecepatan cahaya adalah
270 ribu sekian km/detik, maka si mahasiswa harusnya bertanya,
“Bagaimana Bapak bisa mengatakan seperti itu. Apa buktinya?”
Syahdan, dulu ada seorang ilmuwan di Indonesia yang terkenal sangat
rasional dan “Western oriented”. Dia hanya mau menerima hal-hal yang
empiris dan rasional. Suatu ketika, sang ilmuwan ini akan balik kampung dan menaiki Kapal Laut. Maka, temannya, yang seorang cendekiawan Muslim
mengingatkan dia: “Jika kamu rasional, harusnya kamu tidak naik kapal,
tetapi berenang. Sebab, ketika naik kapal, kamu sudah tidak rasional,
karena kamu percaya saja kepada nakhoda atau petugas kapal yang kamu
tidak kenal sama mereka!”
Tatkala kita menaiki pesawat terbang,
kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis.Saat diumumkan,
bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian,
dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita
tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek
langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.
Itulah
anehnya manusia. Kadangkala, mereka percaya kepada dukun yang
jelas-jelas mengaku bodho, percaya kepada ilmuwan fosil yang belum tentu
jujur, percaya kepada pramugari pesawat yang sama sekali tidak
dikenalnya. Tetai, ajaibnya, mereka tidak percaya kepada seorang
“manusia” yang kejujurannya diakui oleh bangsanya, diakui oleh kawan
maupun lawannya. Bahkan, sejak umur 25 tahun, kaumnya sudah member gelar
istimewa “al-Amin”, manusia yang terpercaya.
Jika dukun yang
menamakan dirinya sebagai orang bodho bisa dipercaya, mengapa kita tidak
percaya kepada Nabi Muhammad saw? Itulah akal Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a., yaitu akal yang jernih; akal yang sanggup mendudukkan sesuatu
pada tempatnya. Saat berita Isra’ Mi’raj itu tiba padanya, maka
Sayyidina Abu Bakar cukup menggunakan logika yang sederhana: Jika yang
mengatakan itu adalah Muhammad saw, pasti itu benar adanya!
Ada
lagi sebagian kalangan yang berlagak kiritis kepada Nabi Muhammad saw,
kritis kepada sahabat Nabi dan para ulama terkemuka. “Kita harus
kiritis!” katanya. Bahkan, masih kata dia lagi, “Kita harus berani
kritis terhadap pikiran kita sendiri!”
Dalam acara bedah Novel
Kemi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 28 Juni 2011, ada seorang mahasiswa
bertanya kepada saya: Apa definisi iman, kafir, dan sebagainya?”
Tentu saja, saya cukup keheranan. Bagaimana seorang yang belajar agama
Islam pada level perguruan tinggi masih belum tahu, ada definisi iman
dan kafir. Saya jawab, “Kenapa kita tidak merujuk saja kepada pendapat
para ulama yang mu’tabarah tentang definisi-definisi tersebut? Lihat
saja pendapat Imam al-Syafii, Imam al-Ghazali, dan sebagainya!”
Si mahasiswa tadi sebenarnya sedang menghadapi krisis otoritas. Dia
menolak otoritas para ulama Islam, tetapi mengakui otoritas Nasr Hamid
Abu Zaid, dan para orientalis. Dia lebih percaya kepada pendapat
orientalis ketimbang pendapat ulama. Padahal, setiap bidang ilmu selalu
menempatkan otoritas-otoritas tertentu. JIka kita belajar Fisika, maka
kita diminta menerima otoritas keilmuan yang dimiliki ilmuwan-ilmuwan
besar di bidang Fisika. Sama halnya dengan otoritas di bidang ilmu
ekonomi, ilmu Sosiologi, dan sebagainya. Ironisnya, saat ini, otoritas
keilmuan di Perguruan Tinggi kadangkala diletakkan kepada gelar formal,
dan bukan pada kualitas keilmuan seseorang. Meskipun bodoh dan kurang
ilmu, tetapi karena sudah bergelar professor maka dia diberikan otoritas
keilmuan di bidangnya.
Jika mahasiswa tidak mengakui otoritas
keilmuan seseorang, maka dia tidak akan pernah menjadi sarjana, sebab
saat menyusun skripsi, tesis, atau disertasi, pasti dia mengutip
sana-sini, pendapat-pendapat dari orang-orang yang dianggap mempunyai
otoritas tertentu di bidangnya. Saat membahas tafsir UUD 1945, tentu
kita lebih percaya kepada tafsiran Prof. Dr. Jimly ash-Shiddiqy
dibandingkan tafsiran Inul atau Thukul.
Untuk menundukkan akal
manusia agar menerima kebenaran misi kenabian, maka Allah memberikan
bukti-bukti nyata berupa mu’jizat pada para utusan-Nya. Dengan itu,
diharapkan, akal manusia akan menerima kebenaran yang berasal dari
Allah, yang merupakan sumber kebenaran. Jadi, berita tentang misi
kenabian adalah suatu Ilmu dan ilmiah. Adalah ironis, jika berita
kenabian tidak dianggap sebagai ILMU, sedangkan informasi tentang
kehidupan di bumi jutaan tahun lalu, dianggap sebagai ILMU.
Pintu masuk seorang menjadi Muslim adalah “syahadat”: saya bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.
Konsekuensinya, seorang Muslim pasti percaya kepada apa pun yang
dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. Allah adalah sumber ILMU. Allah yang
mengajarkan Ilmu kepada manusia, baik yang disampaikan melalui para
nabinya, maupun yang diberikan kepada manusia dalam bentuk ilham, dan
sebagainya.
Yang jelas, tatkala mendapatkan ILMU, maka kita
yakin, bahwa Ilmu itu adalah anugerah Allah. Ilmu adalah karunia Allah.
Meskipun manusia bekerja keras, jika Allah tidak menghendaki dia meraih
ilmu, maka suatu ilmu tidak akan sampai padanya. Bertemunya upaya
manusia dan anugerah Allah akan datangnya suatu makna pada diri
manusia, itulah yang dikatakan Prof Syed Naquib al-Attas sebagai suatu
Ilmu. Di sini terpadu unsur upaya manusia, sebagai syariat untuk meraih
ilmu. Tetapi, pada sisi lain, bagaimana pun, keberhasilan manusia untuk
meraih satu ilmu tertentu adalah merupakan anugerah Allah SWT.
Jadi, seorang Muslim adalah seorang yang sangat menghargai akalnya, dan
mampu menempatkan akal manusia pada tempatnya. Akal adalah anugerah
Allah. Akal digunakan untuk berpikir yang tujuan tertingginya adalah
untuk mengenal Sang Pencipta (ma’rifatullah). Pengakuan akan ke-Tuhanan
Allah SWT dan kenabian Muhammad saw itulah yang membedakan akal orang
mukmin dengan akal orang kafir. Orang mukmin mengarahkan akalnya untuk
memahami ayat-ayat Allah.
Orang mukmin paham akan tujuan dan
makna hidup yang sebenarnya. Dengan akalnya, orang mukmin paham, bahwa
kebahagiaan tertinggi di dunia ini adalah mengenal dan berzikir kepada
Allah; bukan menuruti semua tuntutan syahwat. Dengan akalnya, manusia
dapat mengenal Sang Pencipta. Dengan akalnya, manusia dapat memahami
cara-cara menyembah Sang Pencipta, sebagaimana diajarkan oleh utusan
Allah.
Jadi, meskipun sama-sama berakal, ada perbedaan yang
mendasar antara akal Abu Bakar ash-Shiddiq dan akal Abu Jahal. Akal Abu
Bakar adalah akal yang jernih, akal yang benar (aqlun shahihun),
sedangkan akal Abu Jahal adalah akal yang salah, akal yang buruk, akal
yang tidak mampu mengantarkan manusia kepada pengenalan Sang Pencipta.
Wallahu a’lam bil-shawab.
Oleh: Dr. Adian Husaini
sumber: http://j.mp/1JHcpRy
0 Response to "Isra’ Mi’raj Tidak Masuk Akal? "
Posting Komentar