Pada Selasa 12 Agustus lalu, Presiden Jokowi merombak kabinet dengan melantik 5
menteri dan 1 pejabat setingkat menteri di Istana Negara. Jokowi
menjelaskan alasan perombakan kabinet itu dalam pidato kenegaraan di
depan Sidang DPR-DPD pada 14 Agustus lalu. Jokowi antara lain
mengatakan, “Bagi saya, perombakan Kabinet Kerja adalah salah satu
jembatan terbaik untuk memenuhi janji saya kepada rakyat, yaitu
meningkatkan kesejahteraan dalam perikehidupan mereka.”
Tak Akan Maksimal
Perombakan kabinet (reshuffle) disambut oleh sebagian pihak.
Mereka percaya, perombakan kabinet sudah tepat dan akan berdampak
positif. Di antara alasannya, karena ketiga menko yang baru dinilai
punya kelayakan, kemampuan dan sarat dengan pengalaman.
Namun, perombakan kabinet itu menunjukkan ada yang salah dalam
manajemen pemerintahan Jokowi-JK. Boleh jadi yang paling mendasar adalah
pemilihan orang yang tak tepat; sekadar memenuhi tuntutan partai
koalisi dan pihak-pihak yang telah berjasa dalam pemenangan Jokowi-JK
dalam Pilpres lalu. Itu merupakan karakter bawaan dari sistem politik
demokrasi. Karena itu, dalam perombakan kabinet pun, kompromi dengan
sejumlah pihak pendukung Jokowi-JK tak bisa dihindari. Itu artinya,
masalahnya tetap masih sama.
Perombakan kabinet dikatakan untuk memperkuat kinerja. Untuk itu,
tiga menko dirombak. Harapannya, koordinasi akan membaik sehingga
kinerja berbagai kementerian akan meningkat. Namun, hal itu diragukan.
Pasalnya, dua menteri di bidang perekonomian yang ditunjuk memiliki
mazhab ekonomi saling bertolak belakang. Menurut anggota DPR dari Fraksi
PDIP, Efendi Simbolon, Rizal Ramli yang ditunjuk sebagai Menko
Kemaritiman dikenal bermazhab ekonomi kerakyatan. Sebaliknya, Darmin
Nasution yang menempati posisi Menko Perekonomian berpaham ekonomi
neoliberal. Karena itu dia yakin perombakan kabinet yang dilakukan
Presiden tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Pasalnya, kerjasama
antarmenteri dengan paham ekonomi yang berbeda tentu sulit diwujudkan
(Lihat: kabar24.bisnis.com, 14/8).
Selain itu, peningkatan kinerja tidak cukup hanya dengan perombakan
menko. Pasalnya, menurut penilaian berbagai pihak, menteri-menteri
teknis yang berhubungan langsung dengan program juga bermasalah. Karena
itu dipercaya akan ada perombakan kabinet lagi, khususnya pada pos
menteri-menteri teknis.
Tak Cukup Hanya dengan Merombak Kabinet
Perombakan kabinet yang dilakukan lebih difokuskan untuk mengatasi
kondisi perekonomian yang melambat. Saat ini nilai kurs rupiah terus
melemah mendekati Rp 14 ribu perdolar. Daya beli masyarakat menurun.
Harga-harga kebutuhan pokok melambung. Harga BBM dinaikkan dan tidak
turun meski saat ini harga minyak dunia anjlok pada level 40-an dolar
perbarel. Biaya sekolah pun makin mahal. Itu baru segelintir persoalan.
Persoalan lainnya, lesunya perekonomian telah berdampak terhadap
kinerja dunia usaha. Sejumlah sektor usaha seperti tekstil, alas kaki,
perhotelan, semen, pertambangan, serta jasa minyak bumi dan gas
dikabarkan telah melakukan PHK atau merumahkan pekerjanya. Seperti
diberitakan Kompas.com (18/8), Menteri Ketenagakerjaan Hanif
Dhakiri menuturkan, selama tujuh bulan pertama tahun ini sudah ada
sekitar 30.000-an pekerja yang dirumahkan untuk sementara waktu oleh
perusahaan tempat mereka bekerja. Menurut dia, sebagian besar pekerja
itu berasal dari sektor manufaktur, terutama garmen.
Jika kelesuan ekonomi terus berlanjut, ancaman PHK massal bisa
menjadi kenyataan. Untuk menghindari PHK massal, menurut ketua KADIN
Suryo Bambang Sulistyo (MedanBisnis, 26/5), salah satu
kebijakan yang harus dilakukan Pemerintah adalah dengan menciptakan
kebijakan yang tidak memberatkan pengusaha. Anehnya, Pemerintah
Jokowi-JK malah menggenjot pajak. Padahal beban pajak yang meningkat
tidak hanya dirasakan oleh pengusaha, tetapi juga oleh seluruh rakyat.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati menyebut kunci pertumbuhan ekonomi
adalah harga pangan dan energi. Jika harga dua komponen tersebut stabil,
daya beli konsumen pun akan tumbuh dengan baik. Masalahnya, stabilisasi
harga pangan sulit dilakukan akibat Pemerintah bergantung pada impor
karena tidak adanya kemandirian produksi dalam negeri. Apalagi strategi
stabilisasi harga yang dilakukan dinilai tidak tepat karena dilakukan
pada tingkat pasar induk. Padahal seharusnya, stabilisasi harga
dilakukan pada tingkat distributor dan pasar ritel.
Masalahnya makin runyam akibat pelambatan ekonomi global yang
berpengaruh besar pada kinerja ekspor. Memang, menurut laporan BPS (Bisnis.com,
18/8), neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2015 surplus US$ 1,33
miliar, lebih besar dari perkiraan. Namun, itu lebih karena penurunan
impor lebih besar dari ekspor. Penurunan nilai impor mesin dan peralatan
membuat impor jatuh ke level terendah dalam hampir 5 tahun. Nilai impor
Indonesia turun 22,36% dari Juni 2015. Di sisi lain, ekspor Indonesia
juga jatuh ke level terendah sejak 2010. BPS melaporkan nilai ekspor
Indonesia turun 19,23% year on year atau merosot 15,53% dari ekspor bulan Juni. Itu adalah nilai ekspor terendah dalam lebih dari 5 tahun.
Di sisi lain, nilai rupiah lemah karena Pemerintah mengadopsi sistem fiat money
(uang kertas). Kekayaan alam dan tambang dikuasai oleh swasta bahkan
asing. Pajak dijadikan tumpukan pemasukan negara. Pemerintah pun
melakukan liberalisasi di berbagai sektor di antaranya di bidang
pelayanan publik, pendidikan, energi, listrik dan BBM. Konsekuensinya,
berbagai subsidi untuk rakyat dihapus.
Akibat kebijakan neoliberal, peran Pemerintah untuk menggiatkan
perekonomian juga sulit dilakukan. Di antaranya karena penyerapan
anggaran yang masih rendah. Proyek Pemerintah yang lebih bersifat padat
modal—bukan padat karya—seperti proyek infrastruktur tidak akan
berpengaruh besar terhadap peningkatan daya beli masyarakat. Efek
proyek-proyek itu juga butuh waktu lama. Itu pun menyimpan ancaman
karena sebagian besarnya didanai dari utang luar negeri.
Jelas, peran Pemerintah memang sulit diharapkan secara langsung.
Pasalnya, dalam sistem neoliberal, peran Pemerintah sengaja makin
dipinggirkan khususnya di bidang ekonomi, terutama di sektor-sektor
vital yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Alhasil, semua keruwetan ini berakar pada kebijakan dan sistem
ekonomi neoliberal. Karena itu perombakan kabinet saja tidak akan cukup
mengatasi persoalan jika Pemerintah tidak segera mencampakkan kebijakan
dan sistem ekonomi neoliberal yang menjadi biangnya.
Ganti Sistem
Mengganti orang yang berkinerja buruk di pemerintahan dengan yang
lebih baik tentu penting. Tujuannya adalah agar berbagai urusan
benar-benar dijalankan oleh orang yang memang layak secara syar’i,
yaitu orang yang bertakwa, amanah serta memiliki kemampuan dan
keahlian. Jika tidak, maka yang terjadi adalah kehancuran. Rasul saw.
mengingatkan:
«إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ» قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ «إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ
إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
“Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah saat-saat
kehancuran.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”
Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan/dipercayakan kepada
selain ahlinya maka tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Namun demikian, mengganti sistem yang nyata-nyata buruk dengan yang
baik jelas lebih penting. Sistem neoliberalisme nyata-nya buruk dan
bertentangan dengan Islam. Allah SWT telah memperingatkan bahwa
penerapan aturan dan sistem yang bertentangan dengan ketentuan-Nya akan
melahirkan kesempitan hidup. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).
Menurut Ibnu Katsir, “berpaling dari peringatan-Ku”
maksudnya adalah “menyalahi perintah (ketentuan)-Ku dan apa yang telah
Aku turunkan kepada Rasul-Ku (al-Quran); berpaling dari—dan melupakan
al-Quran—serta mengambil yang lain sebagai petunjuknya”; “bagi dia kehidupan yang sempit” maksudnya adalah di dunia (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Karena itu untuk mewujudkan kehidupan yang baik harus dilakukan
penggantian sistem sehingga sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Caranya
adalah dengan mencampakkan sistem yang ada, lalu menerapkan syariah
Islam secara menyeluruh.
Alhasil, mewujudkan perubahan yang berarti haruslah dengan cara
mengganti orang sekaligus mengganti sistemnya. Caranya adalah dengan
menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah
ar-Rasyidah yang dijalankan oleh Khalifah dan aparatur negara yang
bertakwa, amanah serta memiliki kemampuan dan keahlian. Itulah yang
menjadi tanggung jawab seluruh kaum Muslim saat ini, yang harus
diwujudkan sesegera mungkin. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Surplus neraca perdagangan Indonesia melebar ke angka US$ 1,33 miliar pada Juli 2015, lebih besar dari perkiraan. (Bisnis.com, 18/8).
- Itu karena penurunan impor lebih besar dari penurunan ekspor. Sebabnya bukan karena kamandirian produksi dalam negeri terwujud, tetapi karena perekonomian melambat. Ekspor sendiri jatuh ke level terendah sejak lebih dari 5 tahun lalu (2010). Itulah akibat sistem neoliberal.
- Karena itu ganti sistem ekonomi neoliberal dengan sistem ekonomi Islam, niscaya perekonomian akan benar-benar riil dan menyejahterakan.
sumber: http://j.mp/1JAsr16
0 Response to "Tak Cukup Hanya Merombak Kabinet"
Posting Komentar