Apa tujuan Hizbut Tahrir? Mengapa
dinamai Hizbut Tahrir? Apa artinya? Ini di antara pertanyaan dari sekian
banyak pertanyaan yang acap dipertanyakan (frequently asked questions – FAQ) oleh publik.
Menjawab pertanyaan ini, saya sering mengatakan, gerakan dakwah ini dinamai Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan/Party of Liberation) karena Hizbut Tahrir dalam dakwahnya ingin membebaskan manusia (li tahrîr an-nâs) dari penghambaan kepada manusia (min ibadah an-nâs) kepada penghambaan kepada Tuhan manusia (ila ibadah Rabb an-nâs).
Ini bukanlah rumusan resmi, namun tak keluar dari substansi visi misi
resmi, yang dibuat sekadar untuk memudahkan orang memahami. Rumusannya
itu sendiri dipetik dari pernyataan Saad bin Abi Waqqas dalam dialognya
dengan panglima tentara Persia, Rustum, jelang Perang al-Qadhisiyah. Ini
perang dahsyat yang menghadap-hadapkan kekuatan Islam sebagai the emerging forces dengan salah satu adikuasa ketika itu, Persia.
“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hambaNya yang Dia kehendaki dari pemujaan berhala ke pengabdian kepada Allah, dari kesempitan dunia ke keluasannya dan dari kezhaliman penguasa ke keadilan Islam. Maka dari itu, siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami menerima pula kesediannya dan kami akan membiarkan mereka. Namun, siapa saja yang memerangi kami, kami akan memerangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah…!”
++++
Kemerdekaan adalah hak dasar manusia.
Siapapun dan bangsa manapun tidak akan sudi hidup di bawah tekanan atau
dominasi pihak lain. Karena itulah sejarah peradaban manusia tak pernah
sepi dari episode perjuangan berbagai bangsa, termasuk bangsa Indonesia,
untuk meraih kemerdekaan. Sekarang orang menyebut sebagai era
kemerdekaan karena, katanya, semua bangsa-bangsa telah merdeka.
Benarkah bangsa Indonesia dan
bangsa-bangsa yang ada di muka bumi ini telah benar-benar merdeka? Apa
sebenarnya yang disebut merdeka? Atau bila di balik, apa sebenarnya yang
dimaksud dengan penjajahan itu? Benarkah penjajahan saat ini telah
berakhir?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka
diartikan sebagai bebas dari perhambaan atau penjajahan, berdiri
sendiri dan tidak terikat atau tidak bergantung kepada pihak tertentu.
Bila demikian, apakah bangsa Indonesia benar-benar telah merdeka? Untuk
menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat dari dua unsur penting dalam
kehidupan berbangsa dan negara, yakni apakah dalam menentukan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan kita benar-benar telah bisa berdiri
sendiri, tidak terikat dan bergantung pada pihak lain? Ternyata tidak.
Dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, misalnya, tekanan dan intervensi asing sangat besar.
Menurut Eva Kusuma Sundari, politisi PDIP, berdasar informasi dari
Badan Intelijen Negara (BIN), selama 12 tahun reformasi ada 76 produk
undang-undang di sektor strategis seperti pendidikan, perbankan, energi,
kesehatan dan politik seperti UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU
Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003,
UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal
No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Semua UU tersebut draft-nya disusun oleh pihak asing, yakni Bank Dunia, IMF dan USAID. Hampir semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.
Eva juga mengungkapkan bahwa membuka pasar bebas, menghilangkan proteksi, free competitions
dan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil adalah
syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF dan USAID dalam proses
legislasi. Semua persyaratan tersebut tidak lain adalah manifestasi dari
resep-resep ekonomi yang termaktub dalam Washington Consensuss atau yang populer dengan istilah neoliberalisme. Intinya adalah penguasaan ekonomi nasional oleh negara besar melalui Multi-national Corporation.
Bahkan intervensi asing dalam proses
legislasi juga terlihat dalam proses amandemen UUD 1945, yang kemudian
melahirkan “UUD 2002”. Lembaga-lembaga semacam USAID dan UNDP turut
membiayai proses amandemen yang juga mengubah pasal 33 UUD 1945 (yang
sebenarnya berwatak sosialis) menjadi ramah pada liberalisasi. Sejak
itulah regulasi-regulasi sektor ekonomi yang bernuansa liberal makin
masif disusun oleh Pemerintah dan Parlemen.
Intervensi asing melalui undang-undang
merupakan ‘modus’ penjajahan baru (neoimperialisme). Penjajahan adalah
metode utama penyebaran ideologi Kapitalisme. Bila dalam imperialisme
lama penguasaan suatu negara dilakukan melalui agresi dan invasi
militer, tidak demikian halnya dalam imperialisme modern. Sang
imperialis cukup mengintervensi kebijakan suatu negeri untuk menggapai
tujuannya menguasai politik dan ekonomi negeri itu. Tentu saja harus ada
‘keramahan’ dari negara tujuan kolonialisasi dalam menyambut “uluran
tangan” sang imperialis.
Puluhan undang-undang yang disebut Eva
Sundari sebagai pesanan asing hanyalah salah satu bukti dari sekian
banyak bukti keramahan para pengambil kebijakan di negeri ini pada
imperialisme. Alih-alih menjaga kekayaan alam Indonesia dari penjarahan
imperialisme, para penguasa negeri malah dengan senang hati berperan
sebagai komprador yang menjadi kepanjangan tangan imperialis seperti
yang diidentifikasi John Perkins dalam bukunya, Economic Hit Man.
Jadi, pengungkapan Eva Sundari mengenai kepentingan asing di balik
berbagai produk undang-undang hanyalah sebuah penegasan bahwa negeri ini
tengah berada di bawah dominasi imperialis dalam berbagai sektor,
utamanya ekonomi. Bila demikian, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa
kita sudah benar-benar merdeka?
++++
Apa yang disampaikan oleh Saad bin Abi
Waqqas di atas kiranya penting disimak. Dialog bernas jelang perang itu
memberi kita pengertian sangat fundamental tentang apa itu merdeka.
Merdeka yang sebenarnya adalah bila kita bisa benar-benar menghamba pada
Tuhan manusia (Rabb an-nâs) dalam seluruh aspek kehidupan. Ini
karena kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia merdeka memang
dengan misi utama semata untuk menghamba kepada-Nya.
Oleh karena itu, perjuangan Hizbut
Tahrir, sesuai arti dari namanya, dalam menegakkan syariah dan Khilafah,
tak lain adalah untuk membawa negeri ini ke kemerdekaan hakiki. Itulah
penghambaan kepada Tuhan manusia, yaitu Allah SWT, dengan tunduk pada
segenap syariah-Nya di semua lapangan kehidupan baik kehidupan pribadi,
keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak seperti
sekarang, kita merasa sudah merdeka tetapi peraturan perundangannya
justru bertentangan dengan kehendak-Nya serta harus tunduk dan
bergantung pada pihak lain.
Di sisi kebijakan, kita pun tidak
sepenuhnya bebas menentukan sendiri. Contoh paling aktual adalah masalah
pengelolaan tambang emas di Papua. Seorang pejabat tinggi yang sangat
dekat dengan pucuk pimpinan negeri ini terus terang menyampaikan, bagi
AS, pengelolaan tambang emas di Papua oleh PT Freeport adalah harga
mati. AS mengancam, bila Indonesia berani mengutak-utik soal ini, tak
segan mereka bakal ambil tindakan keras. Di antaranya mendorong
kemerdekaan wilayah Papua. Itu tidak sulit dilakukan. Dalam waktu
singkat 3000 pasukan AS di Darwin dengan mudah diterbangkan ke Papua,
dan Armada 7 di Samudera Pasific juga dengan cepat bisa segera merapat.
Lepaslah Papua. Merdeka. [HM Ismail Yusanto]
sumber: http://j.mp/1NdrTh8
0 Response to "Merdeka"
Posting Komentar